Jumat, 22 Desember 2017

Review Film: 'Jumanji: Welcome to the Jungle' (2017)

Moviehits.id - Kalau anda dulu menonton Jumanji versi 1995 di usia yang sangat-sangat-sangat muda, seperti halnya saya, maka besar kemungkinan kenangan tentangnya lebih dekat dengan “mimpi buruk masa kecil” daripada “hiburan keluarga yang asyik”. Nah, meski karakter-karakter utamanya dimainkan oleh orang dewasa, Jumanji: Welcome to the Jungle secara mengejutkan lebih ramah bagi keluarga. Well, mungkin tidak untuk semua anggota keluarga karena punya beberapa adegan cup-cupan, tapi secara keseluruhan ia merupakan tontonan keluarga yang asyik. Sangat ringan, lumayan lucu,dan cukup seru. 

“Jumanji” (apapun arti kata tersebut) versi kekinian bukan lagi papan permainan melainkan video game. Setelah menggila bersama Robin Williams, "Jumanji" tampaknya sadar bahwa papan permainan yang menjebak anak-anak di dalamnya sudah kuno sehingga ia berubah menjadi video game yang, tentu saja, menjebak anak-anak di dalamnya. Helaw, jaman sekarang tak ada lagi yang memainkan papan permainan, bahkan ludo dan ular tangga pun dimainkan lewat smartphone atau tablet. Saya menebak bahwa "Jumanji" di sekuel Jumanji:Welcome to the Jungle akan memakai wujud game berbasis aplikasi. 

Film ini terbilang cerdas untuk film-film sejenis. Jumanji: Welcome to the Jungle hanya mengambil premis dasarnya lalu malah nyantai dengan segala peraturan game dan bersenang-senang dengannya. Ada beberapa lelucon gurih yang melibatkan program game, seperti interaksi terbatas dengan karakter ekstra, masing-masing karakter yang punya kekuatan dan kelemahan aneh, atau soal eksposisi game yang maksa. 

Attitude seperti ini mengijinkan filmnya untuk bisa seenaknya abai dengan logika plot. Sesuatu bisa muncul tiba-tiba, kapanpun dimanapun film membutuhkannya. Namun di sisi lain, ini juga memberikan kita beberapa kejutan yang seru. Lagian, siapa pula yang mikir soal logika plot di film semacam ini? Peraturan dasarnya hanyalah: (1) setiap pemain punya tiga nyawa yang digambarkan dengan tato 3 garis di lengan mereka, dan (2) untuk keluar dari game, mereka harus menang. 

Mereka yang terjebak adalah si kutubuku Spencer (Alex Wolff), atlit sekolah Fridge (Ser’Darius Blain), cewek pemalu Martha (Morgan Turner), dan cewe gaul yang eksis abis Bethany (Madison Iseman). Awalnya mereka dihukum di sekolah dan disuruh membersihkan gudang, tapi malah menemukan sebuah konsol video game. Konsol dicolokkan, game dimulai, karakter dipilih, dan mereka tiba-tiba saja sudah berada di tengah hutan tropis. 

Kejutannya adalah mereka di dunia game bukan lagi mereka di dunia nyata. Maksud saya, Spencer sekarang adalah ketua ekspedisi serbabisa Dr Smolder Bravestone (Dwayne Johnson), Fridge adalah pakar hewan Moose Finbar (Kevin Hart), Martha adalah gadis petualang tangguh Ruby Roundhouse (Karen Gillan), dan Bethany adalah profesor paruh baya yang buncit Shelly Oberon (Jack Black). Tentu saja, Bethany histeris melihat wajahnya yang mirip Jack Black. Siapa yang tidak. 

Yah yang barusan itu lelucon yang bagus tapi mungkin tak bertahan lama, pikir saya. Namun film ini dan para pemerannya memakai lelucon tersebut dengan konsisten tapi tak serius-serius amat, sehingga melihat mereka berakting melawan stereotipe menjadi sangat asyik. Casting-nya cerdik, sedikit banyak lelucon terbantu berkat imej para pemainnya di kehidupan nyata. Seru melihat Johnson yang terpesona dengan bisepnya sendiri (walau menurut saya, di kehidupan nyata, itulah yang ia lakukan setiap pagi saat berkaca sehabis mandi). Hart tentu saja self-aware dengan tinggi badannya. Gillan lucu saat tampil canggung sebagai gadis yang berpakaian terlalu seksi untuk berpetualang di hutan. Namun yang paling menghibur adalah menyaksikan Jack Black yang mendelik, mengigit bibir, menggerutu, dan mengibaskan rambut layaknya gadis kekinian yang baru puber. 

Keempatnya harus tabayyun dengan fisik baru mereka dan mengesampingkan perbedaan demi memenangkan game. Misi mereka adalah mengembalikan permata hijau keramat ke tempat aslinya. Petualangan mereka berlangsung di hutan yang sangat biasa sembari menghindari kejaran dari penjahat yang sangat biasa (diperankan oleh Bobby Cannavale) padahal ia bisa mengeluarkan kelabang dan kalajengking dari telinga dan mulutnya. Oh, dan ada Nick Jonas. Plotnya generik tapi menyegarkan karena film ini lebih mengandalkan lelucon receh yang dilemparkan oleh keempat tokoh utama kita. 

Yang paling diingat dari Jumanji versi 1995 adalah sekuens efek spesial dimana lusinan binatang berlarian dengan liar di jalanan, tapi ini tentu saja takkan membuat kita kagum lagi di jaman sinema penuh CGI saat ini. Untungnya, adegan aksi yang melibatkan kudanil, badak, atau gajah raksasa digarap dan dirancang oleh sutradara Jake Kasdan dengan sedemikian menegangkan sehingga cukup untuk membuat saya berdebar-debar selama menonton. Saya jadi merasa sedikit bersalah datang ke bioskop dengan ekspektasi yang sangat-sangat-sangat rendah.

Original review by: Ulasanpilem.com